goleki ning kene

Jumat, 16 Juli 2010

Artikel Budaya Novel Para Priyayi

NILAI BUDAYA TINDAKAN SIMBOLIS ORANG JAWA
DALAM NOVEL PARA PRIYAYI

Indra Mardiyana

Abstrak : Nilai budaya tindakan simbolis orang Jawa dalam novel Para priyayi. Artikel ini membahas tentang nilai budaya yang terkandung dalam tindakan simbolis orang Jawa di novel Para Priyayi. Karena novel Para Priyayi merupakan novel yang mengandung unsur budaya Jawa. Nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat, yang bersifat abstrak dalam ruang lingkupkehidupan manyarakat. Tindakan simbolis orang Jawa dalam novel Para Priyayi dibedakan dalam bentuk tindakan simbolis religi, tradisi,dan seni. Nilai budaya yang terdapat dalam tindakan simbolis religi, menciptakan kedekatan manusia dengan Tuhan. Sedangkan dalam tradisi, nilai budayanya menjalin hubungan sesama manusia dan melestarikan adat tradisi. Dan dalam seni, nilai budayanya, memudahkan manusia menerima ajaran kehidupan.

Kata kunci : Nilai budaya, tindakan simbolis, orang Jawa, dan novel Para Priyayi.


Masyarakat Jawa (suku Jawa) merupakan orang-orang yang menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialek dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bertempat tinggal di daerah Jawa tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Tentunya setiap daerah mempunyai budaya yang berbeda dengan budaya daerah lain. Begitu juga dengan manyarakat Jawa yang mempunyai budaya khas, yang hanya dimiliki oleh masyarakat Jawa. Misalnya dalam kehidupan, kekhasan masyarakat Jawa yaitu dalam hal kekeluargaan, gotong royong, dan berketuhanan. Dalam kekeluargaan, masyarakat Jawa merupakan satu kesatuan yang lekat terikat satu sama lain oleh norma-norma kehidupan sejarah, tradisi dan agama. Begitu juga dengan budaya gotong royong yang merupakan ciri khas masyarakat Jawa untuk hidup barsama dan saling membantu. Demikian juga dalam hidup berketuhanan. Masyarakat Jawa yang semula percaya terhadap roh-roh yang menguasai benda, tumbuhan, hewan atau manusia sendiri lama-kelamaan akan luntur. Masuknya agama baru dari luar seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik, membuat kepercayaan masyarakat berubah menjadi yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dari budaya khas masyarakat Jawa di atas tentunya ada tindakan masyarakat atau orang Jawa yang merupakan pewujudan budaya yang ada. Biasanya dalam masyarakat Jawa tindakannya merupakan simbol yang mengandung maksud tertentu. Dari simbol tersebut akan muncul istilah atau ungkapan sebagai cerminan deri tindakannya. Dalam hidup kekeluargaan baik di lingkungan keluarga, desa, dan wilayah, orang Jawa mengenal istilah unggah-ungguh, yang berarti norma sebagai pedoman tingkah laku. Unggah-ungguh bertujuan untuk membedakan tingkatan derajat, usia, dan lain-lain. Begitu juga dalam tindakan gotong royong muncul ungkapan seperti Saiyeg Saekoproyo yang artinya bergerak bersama untuk mencapai tujuan bersama. Hal yang sama juga tercermin dalam hidup berketuhanan, seperti puasa senin kamis untuk melaksanakan tirakat. Semua itu ada nilai-nilai yang terkandung sebagai ajaran dalam kehidupan.
Untuk memahami tindakan simbolis orang Jawa biasanya diperlukan observasi langsung ke daerah Jawa dan berinteraksi dengan orang Jawa. Namun dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam(UK), banyak mengandung unsur kejawaan, mulai budaya, tindakan simbolis, hingga istilah atau ungkapan yang merupakan simbol orang Jawa, disajikan di dalamnya. Untuk itu artikel ini disusun sebagai perwujudan tindakan simbolis orang Jawa dalam novel Para Priyayi berdasarkan nilai-nilai budayanya. Karena tindakan simbolis orang Jawa beragam, maka diperlukan klasifikasi bentuk-bentuknya. Selain itu artikel ini juga membantu meningkatkan kecintaan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa untuk mencintai budayanya sendiri.

NILAI BUDAYA
Nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat, dan merupakan lapisan paling abstrak dengan rung lingkup dalam kehidupan masyarakat (Edwar Djamens dkk, 1996). Nilai budaya dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia. Pertama, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, seperti nilai ketakwaan, suka berdoa, dan brserah diri kepada kekuasaan Tuhan. Kedua, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, meliputi nilai penyatuan dan pemanfaatan daya alam. Ketiga, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai budaya musyawarah, gotong royong, kecintaan pada tanah air, kepatuhan pada adat, dan keadilan. Keempat, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain adalah keramahan, kesopanan, penyantun atau kasih sayang, kepatuhan terhadap orang tua dan lain-lain. Kelima, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri yaitu rajin, tekun, cermat, dan lainnya.
Namun untuk menganalisis nilai budaya dari tindakan simbolis orang Jawa, disesuaikan dengan bentuk-bentuknya. Yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi, tindakan simbolis dalam seni (Budiono Herusatoto, 2000: 88). Untuk itu dari lima jenis nilai budaya, diringkas menjadi tiga nilai berdasarkan bentuk-bentuk tindakan simbolis orang Jawa di atas. Jadi yang diuraikan adalah, nilai tindakan simbolis religi (merupakan nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan), nilai tindakan simbolis dalam tradisi (mencakup nilai hubungan manusia dengan alam, masyarakat, orang lain dan diri sendiri), dan ditambah lagi nilai budaya dalam seni.

TINDAKAN SIMBOLIS ORANG JAWA
Sebelum menganalisis tindakan simbolis orang Jawa, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang arti tindakan dan simbolis. Tindakan merupakan segala sesuatu yang dilakukan untuk tujuan tertentu. Sedangkan simbolis, dalam pedoman umum pembentukan istilah, berasal dari kata simbol yang mendapat akhiran serapan Arab, -is, yang berarti memiliki sifat kesimbolan. Simbol sendiri artinya sesuat hal atau keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap objek (Budiono Herusetoto, 2000: 10). Hubungan simbol dengan tindakan manusia yaitu simbol yang berupa benda, keadaan, atau hal sendiri, sebenarnya terlepas dari tindakan manusia. Tetapi sebaliknya, tindakan manusia harus selalu mempergunakan simbol-simbol sebagai media pengantar dalam komunikasi antar sesama. Tanpa simbol, komunikasi dan tindakan, manusia menjadi beku. Jadi tindakan simbolis orang Jawa adalah tindakan (tingkah laku) orang Jawa untuk menyampaikan suatu hal dengan media simbol. Media simbol orang Jawa dapat berupa bahasa, benda, warna, suara, dan juga tindakan.
Bentuk tindakan simbolis orang Jawa dapat diketahui dalam “Para Priyayi Sebuah Novel”. Para Priyayi menceritakan tentang kehidupan keluarga Sastrodarsono yang menjadi keluarga priyayi. Usaha keluarga menjaga kepriyayian, menjadi inti ceritanya. Hal tersebut disajikan dalam berbagai peristiwa yang dialami oleh anggota keluarganya. Latar novel ini yaitu di Wanagalih, sebagai latar utama dan latar tambahan seperti Solo, Wonogiri, Yogyakarta, dan Jakarta. Setting waktunya yaitu pada saat pemerintahan Belanda, Jepang, kemerdekaan, revolusi paska kemerdekaan dan PKI. Sedangkan tokoh-tokoh yang membangun peristiwa yaitu Sastrodarsono beserta anak-anak, dan cucu-cucunya, Lantip, dan tokoh tambahan.
Namun yang dianalisis dalam novel ini bukan sepenuhnya kehidupan priyayi, namun kebudayaan Jawa secara umum, untuk diklasifikasikan ke dalam bentuk-bentuk tindakan simbolis orang Jawa. Seperti telah disebutkan sebelumnya bentuk-bentuknya meliputi tindakan simbolis dalam religi, tradisi dan seni. Dan yang paling utama dari tindakan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang terkandung.

Tindakan Simbolis dalam Religi
Kehidupan orang Jawa penuh dengan mitos dan religi. Orang Jawa mempunyai kepercayaan terhadap kekuatan magis, kekuatan di luar fisiknya. Sehingga berpengaruh kepada sistem bahasanya. Orang Jawa takut kepada kekuatan magis di luar kekuasanya, dan menghormati hal-hal yang bersifat religius. Rasa takut dan hormat ini menyababkan orang Jawa sering menggunakan bahasan dan tindakan simbolis dalam berbagai kepentingan (Budiono Herusatoto, 2000: 77-78).
Dalam novel Para Priyayi tindakan simbolis yang mengandung unsur mistis dan religi diantaranya, sungai Ketangga di Wanagalih dianggap keramat oleh orang Jawa. Setiap Selasa dan Jumat Kliwon banyak orang kungkum (berendam). Mereka berharap kejatuhan wahyu terpilih sebagai Ratu Adil (UK, 1992: 6). Nilai religi dari tindakan simbolis ini yaitu keinginan seseorang untuk mendapat wahyu kekuasaan. Kekuasaan untuk terus mengusahakan keselamatan jagad (dunia). Selain itu kepercayaan terhadap hal-hal mistis juga ditunjukkan saat tokoh Mbah Kromo (dukun desa) hendak memberi kembang dan kemenyan kepada Paerah (pembantu Sastrodarsoso) yang kesurupan. Dukun menganggap jika kembang dan kemenyan itu makanan roh halus (UK, 1992: 89-90). Nilai religinya yaitu kepatuhan dan keyakinan orang Jawa memohon keselamatan kepada roh halus (hal gaib).
Selain dunia mistik, orang Jawa juga percaya kepada Tuhan. Kita melihat sebagian orang Jawa menyebut Tuhan atau Allah tidak secara langsung. Ada panggilan khas untuk simbol Tuhan, seperti Gusti Kang Mahaagung, Pangeran kang Mubeng Dumadi, Gusti Allah, dan lain-lain. Di dalam novel, sebutan untuk Tuhan terdapat pada kutipan “Embokmu itu hanya dititipkan saja oleh Gusti Allah. Begitu Gusti Allah mau memintanya kembali, dicabutnya lagi hak titip itu ...”(UK, 1992: 27). Kutipan itu sekaligus memberikan nilai religi untuk berserah diri kepada Tuhan. Jadi harus ikhlas untuk menerimanya, setiap ada kematian.
Dalam novel disebutkan bahwa tokoh Sastrodarsono mengatakan, “Kami bukan penganut agama Islam yang sangat taat, tetapi kami adalah tetap oarng-orang Islam” (UK, 1992: 94). Dia juga mengatakan jika dalam keluarganya tidak pernah sembahyang, puasa Ramadhan, tapi merayakan hari raya Idul Fitri. Puasa yang dikerjakan adalah puasa Senin Kamis, mutih (hanya makan nasi putih), ngrowot (hanya makan ketela)(UK, 1992:91). Dari kutipan itu, nilai religinya yaitu wujud ketakwaan orang Jawa terhadap Tuhan. Meski tidak menjalankan perintah wajib agama, namun tetap menunjukkan ketakwaannya.
Selain itu, tindakan simbolis orang Jawa dalam novel adalah sikap pasrah (nenuwun), untuk memohon petunjuk Allah (UK,1992:149). Sikap pasrah ini untuk menunjukkan sikap batin eling. Eling disini diartikan sebagai kesadaran yang tinggi dalam penghayatan keagamaan yang intens. Kalau sudah menginjak tahap eling, pendekatan Tuhan semakin sempurna (Subagyo Sastrowardoyo:5). Seseorang yang boleh dipandang secara eling, tidak mudah goncang oleh hawa nafsu yang merusak (Suryanto Sastroatmodjo, 2006). Nilai religi dan tindakan simbolis ini yaitu wujud berserah diri untuk mendekatkan diri, kembali bersatu dengan Tuhan.
Secara keseluruhan nilai religi dari tindakan simbolis yang ditunjukkan orang Jawa dalam novel Para Priyayi adalah wujud kedekatan manusia dalam hubungannya dengan dunia mistik (makhluk halus), untuk melestarikan budaya. Selain itu juga menjalin hubungan dengan Tuhan, dengan bentuk ketakwaan, berdoa dan berserah diri.

Tindakan Simbolis dalam Tradisi
Ada empat tingkatan tradisi atau adat-istiadat yaitu nilai budaya (mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan bermasyarakat), nilai norma-norma (nilai budaya yang terkait dengan peranan anggota masyarakat), nilai hukum (sisitem hukum yang berlaku), dan aturan aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat (Budiono Herusatoto, 2000:92). Dalam analisis tindakan simbolis tradisi di novel Para Priyayi, dibedakan empat tigkatan tradisi di atas.
Tingkatan nilai budaya dalam novel Para Priyayi yaitu ditunjukkan tindakan Sastrodarsono yang mengasuh keponakan-keponakannya. Karena, dia adalah orang priyayi Jawa yang tidak akan tega dan puas menikmati rejeki sendiri (UK, 1992: 69). Nilai dari tradisi ini adalah sikap saling berbagi sesama manusia. Selain itu juga ada ungkapan simbolis, seng tepo slira, marang sapada-pada (UK, 1992: 91). Artinya bertenggang rasa terhadap sesama anggota hidup. Karena dalam pergaulan sehari-hari orang Jawa selalu berusaha agar setiap ucapan dan tindakan-tindakannya tidak melukai orang lain. Di samping itu juga ada ungkapan lain, mikul dhuwur mendem jero, untuk menjaga nama baik keluarga (UK, 1992: 123 dan 137). Dan ada cancut tali wanda, untuk turut membantu sesama dalam menyelesaikan pekerjaan (UK, 1992: 242). Nilai dari beberapa tindakan simbolis ini adalah kepedulian sesama untuk saling membantu dan menjaga hubungan.
Dalam tingkat norma-norma, tampak dalam sikap antara orang yang lebih tua atau orang yang berpangkat tinggi, dengan yang lebih muda, atau berkedudukan di bawah. Dalam novel tergambar saat Sastrodarsono pulang ke rumah, setelah menyelesaikan sekolah. “Orang tua saya memegang tangan saya erat-erat dan saya mencium tangan mereka dengan takzim (UK, 1992: 32). Nilai dari tindakan ini yaitu wujud rasa hormat anak terhadap orang tua. Contoh lain saat Ndoro Putri mengusap-usap kepala, dan Ndoro Guru Kakung meniup ubun-ubun Lantip saat hendak berpisah (UK,1992:137). Tindakan ini mewujudkan pemberian doa restu dari orang tua terhadap anak untuk diberi keselamatan dalam menjalani hidup. Selain itu juga ada simbol wong cilik manut kepada pemerintah (yang berkuasa) (UK, 1992: 61). Ini menunjukkan sifat orang Jawa yang selalu patuh terhadap orang atau lembaga yang berkuasa. Hubungan antara yang tua dan yang muda juga dapat dilihat dalam bahasanya. Di Jawa bahasa dibedakan kromo inggil (untuk orang yang kedudukannya lebih tinggi), kromo madya dan ngoko (untuk yang sederajad atau di bawahnya). Inilah nilai budaya untuk saling menghargai dan saling menghormati untuk menjalin hubungan dengan orang beda tingkatan.
Tindakan simbolis tingkat hukum tampak dalam hukum adat pernikahan. Dalam novel ini banyak gambaran tentang adat sebelum hingga setelah pernikahan. Biasanya setelah dewasa, berpenghasilan, dan siap menikah, orang Jawa akan mendapatkan nama baru (nama tua). Contoh dalam novel, nama Soedarsono menjadi Sastrodarsono (UK, 1992: 35). Nilai budayanya untuk meningkatkan kewibawaan dan beralih dari masa muda ke tua. Selanjutnya acara nontoni (lamaran) calon istri oleh keluarga calon laki-laki dengan membawa hasil bumi (UK, 1992:39). Saat lamaran kedua keluarga bahasanya berbasa-basi (saling merendah diri) (UK, 1992: 40-45). Tujuannya agar lamaran diterima. Pesta pernikahan dilaksanakan di tempat mempelai wanita\, yang dalam novel yaitu di rumah Aisyah istri Sastrodarsono (UK,1992: 42). Sedangkan pesta ngunduh mantu di rumah Sastrodarsono (UK, 1992: 42-43). Selain itu ada acara sungkeman (UK,1992: 255), sebagai tanda berbakti kepada prang tua dan mohon pamit untuk membangun keluarga. Semua prosesi pernikahan bernilai budaya menjalin kekeluargaan dan hubungan silaturrahmi.
Sempat juga disinggung sekilas upacara tingkeban (UK, 1992: 95). Nilai budayanya untuk menghindari sengkala (musibah) yang akan menimpa anak. Anak dalam pepatah Jawa Kencono Wingko, yang secara harfiah berarti pecahan genting yang nampak bagaikan emas (UK, 1992: 66). Nilai budayanya adalah, anak-anak merupakan kebanggaan orang tua. Seburuk apapun, sebodoh apapun, di mata orang tua tetaplah baik. Karena anak adalah generasi penerus orang tuanya. Nilai budaya keseluruhan tindakan simbolis tingkat hukum yaitu merupakan wujud tindakan untuk melestarikan adat dan tradisi.
Dalam tingkatan aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan yang terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat. Dalam novel Para Priyayi ada ungkapan kacang agar tidak lupa lanjarannya (UK,1992: 48). Agar orang Jawa selalu ingat asal-usulnya, sehingga tidak membuat dirinya sombong. Kemudian ada melik nggendong lali yang berarti nafsu memiliki itu membawa serta lupa (UK,1992:85). Ada juga ungkapan tega larane ora tego patine (UK,1992:286), yang mengandung arti, bagaimanapun besarya kesalahan orang, saat sengsara, keluarga akan turut membantu, karena tidak tega.

Tindakan Simbolis Dalam Seni
Salah wujud rasa budaya manusia adalah alam seni. Alam seni merupakan salah satu aktifitas manusia yang dalam pengungkapannya penuh dengan tindakan simbolis (Budiono Herusatoto, 2000: 101). Dalam budaya Jawa, salah satu keseniannya adalah wayang kulit. Tindakan simbolis pendalangan wayang kulit dalam novel Para Priyayi dilakukan oleh orang yang punya hajat. Seperti dalam pernikahan Sastrodarsono dengan Aisyah, terdapat pertunjukan wayang dalam resepsi pernikahan. Lakon yang diambil biasanya cerminan acara hajatan. Misalnya dalam acara pernkahan, maka lakonnya Partokromo. Tujuannya agar pasangan pengantin serukun Arjuno dengan Sembadra (UK,1992:42). Ada lakon lain yaitu Sumantri Ngenger (pengabdian Sumantri). Inti cerita lakon ini yaitu buat, Wong Cilik, Sumantri adalah contoh wong cilik yang ikhlas menyerahkan baktinya buat raja dan negara (UK, 1992: 43). Setiap cerita wayang mengandung nilai kehidupan. Oleh karena itu dalam novel, cerita wayang sebagai contoh hidup (UK,1992:186). Selain cerita wayang juga terdapat dalam Al Quran (UK, 1992:93).
Selain wayang, orang Jawa juga mendengar klenengan atau uyon-uyon.gamelan Jawa, untuk melepas lelah (UK, 1992: 92). Dalam novel juga ada tayuban semalam suntuk, pesta menari dengan para ledek, penari-penari bayaran yang boleh dicium atau diapakan saja (UK, 1992: 42). Nilai budayanya, bahwa dalam kehidupan manusia akan menghadapi godaan atau nafsu (yang disimbolkan penggoda ledek). Jika tahan godaan maka cita-cita akan mudah tercapai.
Tembang yang biasa dilantunkan orang Jawa juga mempunyai nilai budaya. Misalya dalam novel ada tembang pocung dari kitab Wedhatama, “Ngelmu iki kelakone kanti laku ... (yang artinya ilmu itu akan terlaksana lewat usaha keras...) (UK,1992:132. maksudya secara keseluruhan, pengetahuan tidak akan berguna jika tidak dilaksanakan dengan cara-cara yang konkrit. Karena di situlah akan tercapai kesentosaan (Suryanto Sastroatmadja, 1992: 131). Selain itu ada lagu Kinanti dari kitab Wulangreh, “Pada gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip ... . Artinya,berlatihlah dalam batin dan dalam tanda-tanda, agar kalian peka ... (UK,1992:132). Dan juga tembang Tripama, “Yaganira kang para prejurit, lamun bisa sira anulada... . Artinya, sebaiknya hai para prajurit, bila kalian dapat mengambil teladan ... .semua tembang-tembang itu mempunyai nilai budaya untuk hidup sesuai ajaran yang benar.
Demikianlah beberapa contoh dan nilai budaya yang terkandung dalam tndakan-tindakan simbolis orang Jawa di novel Para Priyayi. Tindakan simbolis itu, sekarangmasih banyak dilaksanakan oleh orang Jawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Jawa yang melaksanakannya tanpa penghayatan.

KESIMPULAN
Budaya Jawa khususnya tindakan simbolis orang Jawa, ternyata banyak mengandung nilai budaya. Baik nilai budaya religi, tradisi, maupun seni. Namun di tengah modernisasi ini, tindakan simbolis jarang digunakan dalam kehidupan masyarakat Jawa sendiri. Meskipun ada itu hanya sebagian saja, tanpa mengetahui atau memahami nilai dari tindakan simbolis itu. Padahal dari belajar dan mengaplikasikannya, kita telah ikut menjaga dan melestarikannya. Di dalam tindakan simbolis orang Jawa juga menngandung nilai-nilai yang bisa dijadikan teladan dalam kehidupan. Tindakan simbolis dalam religi, nilai yang dapat diambil yaitu nilai kedekatan manusia dengan Sang Pencipta serta belajar mitos dari nenek moyang.tindakan simbolis dalam tradisi, memiliki nilai untuk selalu menjaga hubungan sesama manusia, dan menjaga tradisi serta adat dalam masyarakat Jawa. Dan, tindakan simbolis dalam seni, nilai budayanya adalah dengan seni, orang akan mudah menerima ajaran-ajaran atau nasihat bagi pegangan hidupnya.
Novel para priyayi karya Umar Kayam dapat membantu kita untuk belajar kebudayaan Jawa, khususnya tindakan simbolis orang Jawa. Dari novel itu, terlihat kejauharian pengarang dalam menggambarkan serta menjelaskan bentuk tindakan simbolis itu. Jadi kesimpulan akhir, novel Para Priyayi telah memberikan tindakan simbolis orang Jawa untuk diketahui nilai yang terkandung. Nilai-nilai yang dapat dijadikan pegangan dalam bagi kehidupan, tidak hanya orang Jawa tapi masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Djamens, Edwar dkk. 1996. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Herusatoto, Budiono. 2000. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi Sebuah Novel. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sastroatmodjo, Suryanto.2006. Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Sastrowardoyo, Subagio. ____. Eling Sikap Batin Jawa yang Paling Inti. Jakarta : Balai Pustaka.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1992. Pedoman Umum Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: Pustaka Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar