goleki ning kene

Jumat, 12 Agustus 2011

Drama Dibalik Tirai Besi

Dibalik Tirai Besi

Pelaku:

Karmin : 25 tahun

Pria 1 : 35 tahun

Pria 2 : 50 tahun

Pria 3 : 60 tahun

Pria 4 : 30 tahun

Penjaga : 48 tahun

Adegan I

Sore itu, lorong menuju ruangan terlihat terang. Sinar matahari dari angin-angin ujung lorong menerobos masuk menyilaukan mata. Dari arah berlawanan petugas berseragam rapi dengan warna coklat menggandeng pria muda di sebelahnya yang tampak tertunduk. Wajahnya tak begitu tampak karena silau. Langkanya terasa berat. Tampak beberapa tatapan tajam manusia di kanan kiri lorong. Langkah pria muda tersebut menjadi perhatian tatapan kosong penghuni bilik.

Langkah pria itu terhenti disalah satu bilik. Tatapan dua pria penghuni bilik tak membuat pria muda tersebut menampakkan wajahnya. Dia tetap tertunduk dengan langkah gontai masuk di balik tirai besi. Tangannya sudah lepas dari ikatan borgol. Petugas juga telah pergi. Penghuni bilik lain mulai dengan aneka obrolannya. Tapi bilik pria tersebut tetap belum ada suara. Paling hening diantara yang lain untuk beberapa saat.

Karmin : (Masih belum ada suara yang keluar. Tapi dia tampak menyapa temannya tersebut dengan senyuman masam)

Pria 1 : Baru ya? Atau pindahan?

Karmin : (Tampak berat menjawab) I…iya mas, baru.

Pria 2 : (Memandang sinis) Kenapa? Resedivis ya? Kalau dari tampangmu seperti palaku pemerkosaan ya kan? (sambil melihat pria 1 di sebelahnya)

Karmin : (Dengan suara lirih) Bukan mas. Mencuri biasa. (kembali tertunduk)

Pria 2 : (tersenyum menghina) Lha iya, resedivis kan juga mencuri. Apa yang kamu curi, sepeda motor, perhiasan, hape, atau… (sambil melihat pria 1 dengan tertawa) Mencuri perempuan heh?

Pria 1 : (ikut tertawa kecil menyindir) Wes lah. Ndak usah dipikirkan. Anak muda biasanya aneh-aneh. Ya kan mas? (menatap pria 1)

Pria 2 : (masih tertawa) Halah… apa kamu juga ndak merasa muda heh? (tertawa menyindir pria 1)

Pria 1 : Ah… wislah. Tapi masih ada yang lebih muda gitu kok. Kenapa le kamu? Kalau ndak mau disini ya ndak usah nyolong. Dihukum kok susah, lanangan apa kowe?

Karmin : (dengan senyum) Bukan masalah dihukum atau ndak mas. Aku juga ndak getun. Buat apa menyesal. Toh sudah terjadi. Aku hanya heran saja dengan hukum ini. Sepertinya ada yang ndak beres.

Pria 1 dan 2 : (tertawa tambah keras)

Pria 2 : Ngerti apa kamu tentang hukum. Hokum itu ya wes gini ini. Apanya yang ndak beres?

Pria 1 : Wis lah jangan sok mikir. Mikir sampai kepala pecah juga ndak bakal kamu bisa keluar. Ditrima ae. Paling enak buat tidur, biar ndak terasa. (menguap dan merebahkan tubuhnya di tikar)

Adegan II

Senja mulai datang. Tak ada sorotan sinar matahari dari ujung lorong. Suasana ruangan menjadi redup. Wajah ketiga pria tersebut jadi tak tampak. Dua orang masih termenung bersandar di dinding. Yang satu tetap terlelap dalam tidur.

Suasana agak remang-remang. Entah jam berapa. Sinar senja berganti sinar lampu dari ujung lorong. Namun cukup untuk menerangi ruangan tiga pria tersebut. Satu orang masih tertidur. Dua lainnya tetap bersandar.

Pria 2 : Belum tidur? Dari tadi kok diam. Ya wis gini ini disini. Sperti ndak tau ditahanan saja. Apa ta yang kamu pikirkan? Menyesal? Aku dulu juga gitu.

Karmin : (suara lirih) Bukan pak. Tadi aku sudah bilang. Aku ndak pernah menghiraukan hidup ditahanan. Di luar, di sini ya sama saja. Apa lagi menyesal. Sama sekali ndak. Aku ndak menyesal sampai di sini.

Pria 2 : Lantas kenapa?

Karmin : Aku merasa janggal saja pak, atas penahananku. Aku memang mencuri, tapi aku ndak pernah berpikir jika sampai di sini. Apalah arti selonjor besi dan tali ndak terpakai di gudang yang aku curi dengan kekayaan perusahaan yang ndak pernah menaikkan upah buruhnya.

Pria 2 : O… begitu. Jadi kamu buruh pabrik yang mencuri. Diganjar berapa?

Karmin : Itulah yang aku pikirkan sampai sekarang. Apa sebanding selonjor besi dan tampar dengan kurungan satu tahun penjara? Aku merasa ini ndak adil. Sepertinya ini rekayasa dari pejabat-pejabat itu agar aku ndak menggerakkan buruh lain untuk menuntut haknya.

Pria 2 : Kamu itu aneh le. Sudah tahu jadi musuh pengusaha, e… malah mencuri. Ya apesmu. Kowe itu siapa berani-berani melawan orang berduit. Kalau sudah begini mau apa coba? Soal hukuman kami ndak jauh beda denganmu. Malah ganjarannya lebih berat, lima tahun juga gara-gara mencuri.

Karmin : lima tahun? Mencuri apa? Korupsi?

Pria 2 : (tertawa cekikikan) Korupsi? Tampang seperti aku korupsi? Oalah le..le.. mbok ya dilihat. Aku ini hanya kuli bangunan. Mau korupsi apa? (masih cekikikan). Wong cuma makan satu semangka saja kok. Ya maklum, waktu itu kami benar-benar haus.

Karmin : (seakan tak percaya) semangka? Lima tahun? Edian! masa pak?

Pria 1 : (masih berbaring, tapi sudah bangun) Sudah diganjar lima tahun apa kami berani bohong. Nanti malah nambah lagi. (tertawa)

Karmin : Maksudnya kami itu dengan sampean ta mas?

Pria 2 : Ya. Dia temanku nguli. Waktu itu kami sangat haus diperjalanan karena baru pulang. Saat melewati sawah, kami lihat semangka besar-besar, waktunya panen. Rumah kami masih jauh. Akhirnya apa boleh buat. Satu semangka kami gasak. Lha apesnya, yang punya kebun tahu.

Pria 1 : (menyahut) Lebih apesnya lagi, yang punya semangka itu anggota kepolisian. Ya sudah, mau apa lagi. Nasib… nasib.

Pria 1 dan 2 : (tertawa)

Karmin : (dengan suara keras, membuat tawa dua pria terhenti) Bukan! Itu bikan nasib sampean. Yang bawa sampean kemari itu yang gila! Jadi kita sama-sama mengalami ketidakadilan. Kita bukan tersangka tapi korban. Merekalah yang seharusnya berada disini.

Pria 1 : (menghela napas) Kami sebenarnya juga ndak terima. Tapi ya gimana lagi. Kami ini orang kecil tahu apa tentang hukum. Itu keputusannya, ya sudah.

Karmin : (dengan suara lirih, berbicara sendiri) Satu besi dan dua meter tali satu tahun. Padahal kalau aku berniat menjualnya, paling laku lima ribu. Satu semangka lima tahun. Perkilonya sekitar empat ribu. Kalau yang paling besar dua kilo setengah, paling cuma sepuluh ribu. Berarti nilai dua ribu itu setahun. (diam sejenak) Tapi kalau di tivi, ganjaran setahun dengan kasus korupsi dua milyar, atau dahkan lebih. Edian! Apa bedanya korupsi dengan mencuri?

Pria 1 dan 2 : (terdiam, seakan tak mengerti yang dibicarakan Karmin)

Pria 2 : Ngitung apa kamu le? Mikir sampai pecah kepalamu juga ndak bakal berubah.

Pria 1 : (menyahut sambil tersenyum) Paling enak dibuat tidur saja, selesai. Ndak perlu capek-capek mikir atau ngitung. (kembali membarigkantubuhnya di tikar)

Malam semakin larut. Suara-suara penghuni lorong juga mulai hilang. Yang terdengar hanya serangga malam. Cicak dan nyamuk juga terdengar di setiap ruang. Dua pria sudah terbuai mimpi. Hanya Karmin yang masih bersandar di dinding.

Adegan III

Dua hari berselang. Suasana tak banyak berubah. Tiga pria di balik tirai jeruji besi tetap bercengkrama, sambil menikmati makan siang. Udara sangat panas dan pengap.

Pria 1 : (sambil membuka kaos) Haaah… puanas pol. Seperti di neraka saja. Tau gini, aku ndak ngambil semangka itu. Mending haus sesaat, daripada panas lima tahun. Heh. (membuang kaosnya)

Pria 2 : (sambil makan) wis lah, ditrima saja. Anggap saja ini neraka dunia. Ya, pemanasan sebelum kita benar-benar masuk neraka beneran. (sambil btertawa)

Pria 1 : Hus! Jangan ngomong gitu mas. Mrinding aku. Moga-moga saja yang di atas sana lebih adil. Kita sudah merasakan sengsara di dunia. Masak harus merasakan sengsara juga di akhirat? Kasihan bener kita ya. (mengalihkan pandangan ke Karmin) Hoe, habiskan makanmu. Jangan mikir terus. Pikiranmu ndak bakal membawa kita bebas.

Karmin : Sepertinya kalian sudah ndak punya semangat lagi. Apa kalian ndak mikir, jika ini terjadi dua kali pada kita atau mungkin banyak orang lain mengalami nasib serupa. Kalau ini dibiarkan jadi apa negara kita? (kembali menyendok makanan)

Pria 2 : Halah le..le… jangan sok negarawan kamu. Pikirkan dirimu sendiri. Ndak usah mikir orang lain. Ya inilah hukum alam, yang kuat menindas yang lemah. Mudah-mudahan mereka bisa belajar dari kasus kita. Tapi sepertinya itu juga ndak mungkin. Ealah, mbuh lah.

Pria 1 : (memandang ujung lorong) hoe lihat! Ada penghuni baru lagi. Sepertinya menuju kesini.

Mereka bertiga menatap calon temannya itu. Semua terdiam tak berpaling dari tatapan ke penghuni baru tersebut. Petugas memasukkan seorang pria tua dan kembali menutup tirai besi. Pria baru itu juga tak banyak bicara. Tapi senyuman ramahnya menandakan sapaan.

Pria 1 : (memandang tajam) Kenapa pak? Sudah tua kok pengen masuk sini, hehehe. Ntar mati di sini lho? (tertawa menyindir)

Pria 3 : (tersenyum) Kalau memang ditakdirkan ya ndak apa-apa. aku pasrah saja. Ya, memang sudah nasip, nak. Gara-gara tiga biji coklat, sampailah saya kesini.

Pria 2 : Maksudnya, sampean mencuri? Dapat berapa tahun?

Pria 1 : Pak…pak. Sudah tua ya ada-ada saja. Benar-benar tua-tua keladi. Sudah tua e… malah di bui. (kembali tertawa)

Pria 3 : (menanggapi dengan senyum) terserah apa katamu nak. (menghela napas) aku mengambil tiga biji coklat yang sudah jatuh, di perkebunan. Lumayan lah buat dajadikan bibit. Tapi mandor perkebunan mengetahui. Ya wis, akhirnya disini sampai setengah tahun. (bersandar di dinding sambil menghela nafas lagi) aku sudah ndak kuat sebenarnya untuk menjalani ini semua.

Karmin : (kembali tercengang) gia! Tiga biji coklat lima bulan? Apa bapak ndak mengajukan banding?

Pria 3 : Ealah nak. Tahu apa aku tentang hukum. Kalau sudah dibilang salah ya sudah. Mau apa lagi? Kata maaf juga ndak mempan. (menghela napas) setiap hari aku hanya mencari ranting untuk dijual. Kadang juga membantu membersihkan kebun. Aku sudah ndak punya siapa-siapa lagi. Ya, bisa dibilang sebatang kara. Lalu siapa yang mau menolong? Ya wes ditrima saja.

Pria 2 : (tampak iba) Kalau gitu nasib kita berempat. Yang kita curi tak sebanding dengan hukuman yang diberikan. Tapi ya gimana lagi, semua sudah terjadi. Waktu ndak mungkin berjalan mundur. Sudahlah pak, sampean yang sabar. Agak sakit ya?

Pria 3 : Sudah dua minggu ini semenjak tahanan sementara hingga sidang, asmaku kambuh. Napasku agak berat. Ndak tau lah nak sampai kapan…. (kembali terengah tak mampu meneruskan bicara)

Pria 1 : Sudahlah pak, gunakan tidur saja. Mungkin setelah tidur nanti bapak merasa tenang dan baikan. (juga merasa iba)

Karmin : (pandangan tajam melihat keluar) Edian! Gila! Sampai kapan negeri ini penuh dengan hukum-hukum palsu. Sekarang hati nurani juga telah hilang. Di balik jeruji selalu penuh dengan korban ketidakadilan, penuh permainan, penuh orang-orang…. Aaach….(berteriak sambil memukul besi, hingga orang disekitarnya memperhatikannya)

Petugas : Hoe… diam! Siapa itu yang teriak! (dari ujun lorong terdengar suara keras)

Karmin : (dengan suara lirih memegang erat jeruji besi) Kurang ajar! Mulut ini pun harus dibungkam, ndak boleh bicara apa lagi teriak. (nafas terengah-engah menahan marah) sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini. Melihat diriku dan orang-orang di sekitarku menjadi korban kebiadapan penguasa. Apa mau mereka? Apa mereka akan miskin dengan kehilangan satu lonjor besi, satu semangka dan tiga buah coklat? Lalu bagaimana dengan uang kita yang dikorupsi hinggga miljyaran ah…

Pria 1 dan 2 : (diam, tercengang melihat sikap karmin yang semakin menjadi)

Pria 3 : (menghela napas) Nak, wislah. Ndak usah emosi. Kita ndak punya kuasa. Nasib memang sudah digariskan. Orang kecil bisa apa? Teriak? Katamu bicara saja ndak boleh, ya kan?

Karmin : Kenapa? Kenapa kalian selalu terkugkung dalam keputusasaan? Pasrah? Nrima? Sampai kapan pikiran, jiwa, hingga raga kalian terbelenggu dalam jeruji ketidakadilan, heh? Sampi kapan?

Pria 2 : (menyahut) Sampai semua berakhir dengan sendirinya. Mungkin kau belum lahir saat itu. Dulu aku pernah baca dan dengar cerita orang tentang kisah Sengkon dan Karta. Sengkon, seorang kuli pasar yang didakwa melakukan pemerasan kepada jaksa yang berbelanja. Padahal dia hanya minta tambahan uang lima puluh rupiah dari lima puluh rupiah upah yang diberikan. Juga dengan Karta yang dituduh mencuri sepeda saat di desanya ada tontonan. Padahal dia benar-benar sakit di rumah. Media benar-benar mengangkat permasalahan itu. Tapi apa yang terjadi setelah mereka bebas? Mereka tewas dengan kecelakaan tidak wajar, hanya berselang satu bulan. Aku jelas ndak mau seperti itu le. Aku masih punya anak istri. Biarlah lima tahun hilang dari pada hilang selamanya.

Karmin : (tetap dalam pandangan kosong) Apa bapak pikir saya takut dengan kisah tadi? Mungkin aku bisa saja mati. Tapi setelah itu semua mata bisa terbelalak, bisa melek. Dan keadilan bisa terjamin.

Pria 1 : Siapa yang menjamin? Mungkin matimu juga ndak ada orang yang tahu. Dasar bocah edan! Mau mati konyol kamu.

Karmin : Terserah apa kata kalian. Aku sudah terlalu muak dengan semua ini. Bosen aku seperti ini terus. Semua orang harus tahu peristiwa ini. Semua orang harus tahu siapa korban-korban ketidakadilan hukum negeri ini.

Pria 2 : Tapi ingat le. Semua itu biasanya dilurar perkiraan.

Pria 1 dan 2 berada disamping pria 3 yang agak sakit karena sesak napas. Karmin tetap tak beranjak dari tirai besi yang dipegangnya. Suasana semakin sore dan terik. Sinar matahari dari ventilasi ujung lorong menyilaukan ruang yang mereka tempati hingga tak terlihat.

Adegan IV

Seminggu berselang. Para tahanan antri sarapan pagi, termasuk Karmin. Suasana sangat santai. Ada yang saling bercanda, ada yang diam, begitu juga Karmin. Para tahanan makan di ruangan khusus. Mereka saling bercengkrama.

Karmin : (mengamati rekan di depannya) Kenapa mas, ndak makan? Ndak enak ya masakannya? (kembali menyendok nasi)

Pria 4 : (diam sejenak, dan membalas dengan senyum) Ya mas, lagi ndak enak badan. Ndak tahu kenapa. Mungkin ya kepikiran sama orang rumah. Sudah satu bulan aku di sini.

Karmin : Kalau boleh tahu kasus apa yang membuat mas sampai kemari? Tapi sudah satu bulan, kenapa baru kepikiran sekarang?

Pria 4 : (kembali tertunduk tak menjawab)

Karmin : E… maaf mas, kalau pertanyaanku menyinggung. Tapi bukannya di sini itu ndak ada yang perlu ditutup-tutupi? Toh semua juga memiliki nasib sama, melanggar hukum atau mungkin jadi korban hukum.

Pria 4 : Embuh, aku masuk yang mana dari yang mas sebutkan tadi. Selama satu bulan ini saya menanti ketidakjelasan proses hukum. Apakah saya ada peninjauan kembali, atau sudah final dari kasus ini. Dibilang melanggar, aku ndak merasa. Kalau boleh jujur, (dengan suara lirih) aku korban salah tangkap aparat. Aku merasa tak punya masalah dengan aparat. Aku dikira komplotan preman terminal. Padahal aku Cuma kuli angkut. Mereka tiba-tiba saja menangkapku dan di bawa ke pos. Di sana aku didesak untuk mengakui aku salah satu komplotan. Memang waktu itu aku ndak punya saksi untuk membela. Aku hanya sekedar tahu tapi ndak kenal, apalagi ikut komplotan. Tapi mereka terlanjur emosi dan menghajarku hingga babak belur. Akhirnya aku dijebloskan ke sini. Mereka beralasan agar aku merasa aman dari ancaman. Dan dijanjikan peninjauan kembali. Entahlah.

Karmin : (diam sejenak dan berbicara dalam hati sambil geleng geleng) Gila! Lagi-lagi peristiwa gila. Hukum dibuat mainan. Orang kecil kembali jadi korban. Tapi kali ini benar-benar gila! Sangat gila!

Pria 4 : (mukanya tambah pucat, seperti menahan air mata) makan apa anak istriku nanti jika aku terus-terusan di sini tanpa kepastian? Istriku juga baru saja melahirkan.

Karmin : Ini benar-benar aneh. Kamu bukan sekedar korban ketidakadilan tapi juga kebiadapan. Apa selama ini kamu hanya diam saja? Ndak teriak sama sekali? Apakah selama sebulan kamu hanya meratapi nasib? Inilah saatnya kawan, kita membelalakkan mata mereka.

Pria 4 : Halah mas…mas, aku bisa apa. Belum teriak sudah diancam. Bisa –bisa aku semakin lama di sini. Ndak wes. Sementara aku percaya dengan mereka. Moga-moga yang dikatakan mereka benar.

Karmin : Ini lebih gila lagi. Kamu yang mengalami peristiwa hebat masih percaya nasib, masih percaya kebohongan, selalu menuruti kepasrahan, heh? Kita memang ada di balik tirai besi. Tapi disitulah kekuatan kita. Semua pasti akan bersimpati kepada kita.

Pria 4 : Terserah sampean. Tapi demi keselamatan, setiap hari aku pasrah juga ndak papa. trima ae mas.

Karmin mulai tak sabar meluapkan emosinya. Sendok digenggamnya sangat erat. Makannya pun berhenti. Kemudian dia bangkit dan menghampiri seorang petugas.

Karmin : (dengan nada tinggi) Pak, aku pingin disidang kembali. Aku ingin ditinjau kembali hukumanku dan teman-teman yang telah menjadi korban hukum. Sampai kapan orang lain akan bernasib sama sepertiku, heh?

Petugas : Maksdmu? Aku ndak berwenang soal itu. Aku hanya menjalankan tugas. Kamu telah divonis. Jadi ndak mungkin kembali ke persidangan kecuali kamu punya pengacara. Itupun juga ndak gampang. Semua ada aturan dan sesuai hukum.

Karmin : hukum gila! Apa hukum itu bersifat ndak adil dan untuk orang-orang kecil, lemah, serta ndak berdaya. Apa Hukum hanya berlaku bagi pencuri besi, semangka, tiga biji coklat? Sementara para koruptor milyaran rupiah tetap menikmati udara bebas? Hukum macam apa ini? Sampai kapan bapak menjadi budak kebiadapan para penguasa, heh? (Menggenggam krah petugas) Bapak lihat temanku itu. Dia adalah korban salah tangkap. (bersuara keras) Dia korban pak, baukan tersangka!

Petugas : (mendorong Karmin) heh! Kamu jangan macam-macam ya. Jangan harap kamu mendapat remisi nantinya, kalau terus bikin ulah.

Karmin : Ndak apa-apa pak. Saya disini seumur hidup, atau bahkan mati di sini. Ndak apa-apa. Asal ada jaminan ketidakadilan ini akan hilang! Saya sudah muak! Wes bosen dengan ini semua. Kemana hati nurani penegak hukum negeri ini? Kemana, heh? (mendorong petugas)

Petugas :Heh! Jangan bikin ulah kamu! Jangan macam-macam ya!

Karmin : (sambil diseret petugas lainnya) Gila! Gila semua! Hukum edian! aku ndak takut dengan hukum! Aku ndak takut dengan pengauasa-penguasa biadap. Lepaskan saya pak! Lepaskan!

Suasana makan saat itu sanhgat tegang. Tak ada suara lain. Para penghuni terperangah dan terkejut dengan ulah karmin. Teriakan karmin semakin lama semakin hilang. Tahanan lainnya kembali masuk ruang setelah makan.

SELESAI

Geguritan Indra Mardiyana

GEGURITAN

Indra Mardiyana

Ing Desa Campurejo kutho Bojonegoro

Nangise bocah ana sawijining omah

Dina Selasa Kliwon nalika jago kluruk sapisan

Rolas April sing dadi ambal warsane

Anak wuragil sing lagi lair

Miyarsa suara wiwitan saka rama

Adzan lan ikhomah

Rinungu ana kuping kaloro

Donga marang Gusti uga kairing

Ing kalbuning putra wuragil

Yaiku anak sing lebda lan yekti

Aneng sadawane urip mengko

Nuladha budi pekertine rama lan ibu

Anggegayuh pangarep-arep sing luhur