goleki ning kene

Jumat, 22 Maret 2013

Cerpen Senyum Karyamin


Senyum Karyamin*

Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalananya selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanannya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna.

Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.

Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya muncul menyembul kulit.

Boleh jadi Karyamin akan selamat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.

“Bangsat!” teriak Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh terduduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan. Empat atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.

“Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus,” kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.

“Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang diri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini pasti sedang digodanya.”

“Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar dia juga sering datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri!”

Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.

Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi hawa. Dan mata Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.

Tetapi kawan-kawan Karyamin mulai berceloteh tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka melihat sesuatu yang enak dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu gagal mereka tangkap.

“Min!” teriak Sarji. “Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha?”

Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.

Memang. Karyamin hanya tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.

“Masih pagi kok mau pulang, Min?” tanya Saidah. “Sakit?”

Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.

“Makan, Min?”

“Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”

“Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?”

Karyamin hanya tersenyum sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.

“Makan, ya Min? aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”

Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang  sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.

”Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.

”Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”

”Iya Min, iya. Tetapi….”

Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.

Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar kan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.

Sesungguhnya Karyamin tidak tahu betul mengapa dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, Karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya. “Maka apa salahnya bila aku pulang buat menemani istriku yang meriang.”

Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dalam rongga matanyta. Setelah melintasi titian Karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat jelas bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging ketika Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena di balik tanjakan itulah rumahnya.

Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya. Denging dalam telinganya terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang di matanya pun semakin banyak. Maka Karyamin sungguh-sungguh berhenti, dan termangu. Dibayangkan istrinya yang sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang telah setengah bulan membawa batunya.

Masih dengan seribu kunang-kunang di matanya, Karyamin mulai berpikir apa perlunya dia pulang. Dia merasa pasti tak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang sedang menghadapi dua penagih bank harian. Maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju batik bermotif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.

“Nah, akhirnya kamu ketemu juga, Min. Kucari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?”

“Menghindar?”

“Ya, kamu memang mbeling, Min. di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kaupersulit.”

Karyamin mendengar suara napas sendiri. Samar-samar Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri. Tetapi karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang harus dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.

“Kamu menghina aku, Min?”

“Tidak, Pak. Sungguh tidak.”

“Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum? Hayo cepat; mana uang iuranmu?”

Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kampong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.

* Tohari, Ahmad, “Senyum Karyamin, Kumpulan Cerpen”, Gramedia, Juni 1989
http://kumpulancerpen-fs.blogspot.com/2012/12/cerpen-senyum-karyamin.html

Minggu, 03 Maret 2013

Dunia Remaja Penuh Suka atau Bahaya?

Dunia Remaja Penuh Suka atau Bahaya?


Remaja?
Remaja memiliki pengertian sifat muda atau mulai dewasa. Maksudnya peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Usianya sekitar 10-14 tahun (remaja awal) dan 15-20 tahun (remaja akhir). Usia remaja merupakan usia emas dalam fase kehidupan. Di usia ini mulai terjadi perkembangan dari segi fisik dan psikisnya.
Perkembangan fisik remaja ditandai dengan perubahan bentuk yang mulai tampak. Misalnya untuk wanita ditandai dengan tumbuhnya payudara dan mengalami menstruasi sebagai pertanda bahwa sistim reproduksinya sudah mulai aktif. Bagi laki-laki perubahannya terletak pada suara yang membesar, otot mulai terlihat dan kekar, serta fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosteron. Munculnya jakun di kerongkongan juga akan dialami bagi setiap laki-laki terutama setelah dikhitan. Perubahan ini terjadi saat mulainya masa pubertas hingga anak-anak telah dinyatakan sebagai remaja.
Selain fisik, perkembangan remaja juga terjadi pada psikisnya. Banyak perubahan sikap dan pola pikir remaja. Hal inilah yang akan menjadi permasalahan serius bagi remaja dan lingkungannya. Ada sisi baik sekaligus menyimpang jika perubahan ini tidak terkendali. Masa remaja merupakan masa untuk mencari jati diri. Ketergantungan terhadap orang tua sudah mulai luntur. Mereka lebih percaya terhadap lingkungannya. Kedekatan dan loyalitas terhadap kelompoknya akan mengurangi kedekatan dengan orang tua. Selain itu, remaja juga memiliki tingkatan emosi yang tinggi. Sifat ambisius dan optimis sudah melekat pada setiap diri remaja. Bahkan tingkatan emosi yang berlebihan akan mengakibatkan emosi tak terkendali sehingga bisa menimbulkan perselisihan di antara mereka. Hal ini karena mereka cenderung sensitif dan labil. Mereka menganggap bahwa mereka lebih baik dari yang lain.. Sifat-sifat inilah yang perlu dicermati karena bisa mengarah ke perbuatan yang positif dan negatif.

Remaja itu Positif atau Negatif?
Darah muda darahnya para remaja, yang selalu merasa gagah dan tak pernah mau mengalah. Masa muda masa yang berapi-api dan maunya menang sendiri walau kalah tak peduli. Itulah cuplikan lirik lagu yang menggambarkan masa remaja terutama psikisnya. Artinya masa remaja merupakan masa-masa yang penuh pengawasan. Jika tidak diawasi dan dikendalkan dampaknya akan buruk tidak hanya bagi remaja iersebut tapi juga bagi lingkungan sekitar. Ibarat alur cerita masa remaja merupakan fase menuju konflik (mulai terjadinya konflik).
Ada sebuah ungkapan, kecil dimanja-manja, remaja foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga. Masa remaja merupakan masa foya-foya. Tak ada kamus menderita dalam remaja. Semua dilalui dengan gembira sehingga terkesan semau gue. Hal inilah yang bisa membawa para remaja menuju masalahnya yaitu tawuran, mengonsumsi obat-obat terlarang, free sex, dan perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya. Bagi sebagian remaja hal itu seperti sebuah “tradisi“ yang harus dilestarikan karena sudah melekat pada diri mereka.
Namun, tidak semua remaja yang memiliki sifat negatif. Masa yang berapi-api tidak hanya menghasilkan emosi tetapi juga prestasi, mulai lingkup lokal hingga ajang internasional. Banyak remaja khususnya remaja Indonesia yang menorehkan karya dan mengharumkan nama bangsa. Contoh yang terbaru yaitu menggeliatnya para remaja di SMK yang berlomba membuat produk transportasi mulai dari mobil hingga pesawat. Selain itu kalungan medali emas tak penah lepas dari para remaja yang juara di berbagai olimpiade ilmu pengetahuan di level internasional. Itulah remaja, masa-masa yang terdapat dua sisi.

Remaja = Sekolah
Dunia remaja dan dunia sekolah seperti tak terpisahkan. Namanya remaja harus sekolah dan sekolah isinya penuh remaja. Meskipun ada juga remaja yang tidak sekolah karena biaya. Intinya usia remaja sama dengan usia sekolah. Peran sekolah untuk mengembangkan para remaja sangat penting. Ibarat pewayangan, sekolah sebagai kawah candradimukanya yaitu tempat untuk mengolah agar siswa remaja bisa memiliki potensi dan prestasi.
Fungsi sekolah sebagai tempat untuk melatih siswa bersosialisasi dan mengembangkan pola pikir. Iinterkasi teman sebaya juga banyak terjadi di rumah karena lebih dari separuh waktunya dihabiskan di sekolah. Seragam sekolah lebih sering melekat di tubuhnya dan menjadi ciri khas sekaligus kebanggaan remaja. Interaksi dengan teman sekolah tak jarang menciptakan sebuah komunitas. Remaja sangat bangga dengan komunitas. Kebanggaan yang berlebihan inilah yang rawan menimbulkan konflik. Contoh konkritnya adalah tawuran antar pelajar yang ditimbulkan karena masalah sepele atau saling ejek. Remaja sangat rentan emosi. Bila temannya satu kominitas diejek maka yang lainnya akan ikut tersinggung.
Selain menemukan komunitas, sekolah juga sebagai tempat mengembangkan pola pikir di bidang kreativitas dan akademik. Di bidang kreativitas, contoh konkritnya yaitu acara yang diadakan SMA Negeri 8 Malang melalui kegiatan untuk memperingati HUT Smanrihasta.  Berbagai perlombaan untuk mengembangkan potensi remaja diadakan. Mulai dari bidang bahasa, olahraga, seni, dan kreativitas yang lain. Semua yang terlibat di sini adalah remaja. Mulai dari panitia lomba hingga peserta lomba juga dari kalangan remaja berbagai sekolah.  Kegitan-kegiatan seperti inilah yang bisa menjadi wahana bagi remaja untuk mengembangkan kreativitasnya dalam hal yang positif.
Banyak prestasi yang diukir remaja juga melalui sekolah. Mulai dari prestasi akademik dan nonakademik. Sering juga remaja mengharumkan nama bangsa melalui prestasinya di bidang olimpiade ilmu pengetahuan. Tak jarang juga remaja membuat prestasi yang membanggakan sekolah malalui olahraga. Selain itu, yang lebih membanggakan lagi adalah remaja SMK yang biasanya identik dengan tawuran bisa menciptakan produk skala nasional, yaitu mobil dan pesawat SMK.
Dari beberapa hal di atas, sekolah ternyata tempat yang sangat tepat bagi remaja untuk mengembangkan segala potensi dirinya. Sangat janggal bila remaja tidak sekolah. Semangat bersekolah harus ditanamkan bagi setiap remaja. Ayo sekolah!


Remaja 2013 itu… .
1.      Beriman dan bertaqwa
Ternyata kiamat tidak jadi. Nah, ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kalian untuk sebegar bertaubat kepada Tuhan karena kalian telah diberi kesempatan kedua untuk hidup lebih baik.
2.      Sayang orang tua
Kalau kita mengalami musibah, siapa orang pertama meneteskan air mata?
Teman dekat? (pasti menjauh dan cari teman yang bahagia)
Pacar? (gak mungkin, mending dia cari gebetan baru biar gak repot)
Jawabannya adalah orang tua. Merakalah yang masih rela menolong anaknya meski sering kita anggap kolot, diktator, kuno, tak peduli, dll. Sebelum kalian jadi “batu” kembalilah ke pangkuan orang tua
3.      Kritis tapi gak egois
Remaja harus kritis untuk memberikan masukan dan solusi setiap permasalahan. Ini menandakan perkembangan pola pikir. Namun, jangan memaksakan diri jika ingin memberi saran.
4.      Hidup sehat hindari maksiat
Hidup teratur, banyak istirahat, banyak olahraga, dan banyak aktivitas yang berguna akan menghindarkan kalian ke jalan maksiat
5.      Meski gaptek tapi intelek.
Mengikuti perkembangan teknologi nggak harus memiliki terutama alat kmunikasi. Nggak punya BB bukan berarti kita nggak punya HP kan. Cukup pengetahuan luas dan cerdas yang harus dimiliki.
6.      Meski kuper jangan minder
Dianggap nggak gaul? Tenang saja. Apa sih ukuran gaul? Lebih percaya diri menciptakan pergaulan yang positif.
7.      Anti anarki sosial tinggi
Menyelesaikan masalah ndak harus dengan anarki. Utamakan sikap saling menghargai dan jiwa sosial yang tinggi.
8.      Anti galau
Hari gini masih galau? Nggak jamannya bro. Masalah memang selalu melanda tapi tidak harus disikapi dengan menyerah dan pasrah sehingga kita kalah oleh perasaan. Masa manusia kalah sama provider yang ada anti galaunya?
9.      Anti narkoba
Kalau ini harus serius. Jangan dekat apa lagi nyoba yang namanya narkoba. Ini bukan menyelasaikan masalah tapi nambah masalah.
10.  Anti virus
Nggak cuma virus HIV, tapi juga virus kecil-kecil seperti virus malas, virus alay, dan virus Korea. Wajib menjadi pribadi yang rajin, tegas, dan memiliki jati diri. Jangan hanya jadi pengikut tapi juga harus jadi pelopor.
11.  Berprestasi
Meski berat tapi bukan mustahil. Hidup harus punya tujuan dan target. Banyak peluang untuk bisa berprestasi. Mulai dari bidang pengetahuan, keterampilan, komunitas, atau olahraga.