goleki ning kene

Jumat, 06 November 2009

Cerpen Kupu-Kupu Malang

Kehidupan berliku menyimpan cerita dan pengalaman berharga. Setiap manusia pasti pernah mengalaminya. Seperti halya dalam cerpen berikut.

Kupu-Kupu Malang

Tok..tok..tok. suara sol sandalku berbunyi nyaring memecah gelapnya malam. Suara itulah yang mengiringi langkahku di gang kecil sebuah perkampungan pendatang di kota ini. Beberapa hari ini aku memang sering pulang agak sore dari pada biasanya. Maklum, pasaran lagi sepi. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di club untuk menikmati segelas minuman penghilang stres. Hape juga sama sekali ndak ada panggilan masuk. Ndak ada selembar uang pun masuk dalam tas malam ini.

Tok..tok..tok. pintu rumah kontrakan dari triplek aku ketok. Pikiran yang kacau saat berangkat membuatku lupa membawa duplikat kunci. Berulang kali aku ketok, masih tak ada jawaban. Dok..dok..dok. mulai keras aku menggedor pintu. Dengan jengkel aku menggedor pintu. Hingga dari dalam suara ibu menyahut.

Bu, buka! Tuli ya!” Teriakku jengkel.

Astaghfirullah. Iya..ya, sebentar. Jangan keras-keras, ndak enak didengar tetangga.” masih mengenakan mukena, ibu membuka pintu menyambutku dengan muka kusut. Aku langsung nyelonong masuk. Ndak ada komentar yang keluar dari mulutku. Ini sengaja aku lakukan, karena pikiran dan tubuhku sudah terlalu lelah untuk meladeni ibu.

Sampai kapan kamu pulang malam terus. Ndak enak kalau dilihat tetangga. nasihat ibu dengan suara lembut.

Halah, tetangga mana! Anggap saja kita hidup dikuburan.” sahutku yang sudah tak tahan ocehan ibu. “Wis lah!” bentakku. “Ibu ndak usah ngurus aku. Urus saja Rina dan diri ibu sendiri. Apa urusan tetangga kalau aku pulang pagi, malam atau ndak pulang. Ini kota besar bu! Kita mau gini-gitu apa urusan mereka. Lagian kita juga ndak ngemis ke mereka!” bantahku. Aku berharap pernyataanku ini bisa mendiamkan ibu.

Kalau kamu terus-terusan begini apa kamu ndak kasihan dengan Rina. Dia itu butuh kasih sayang, Ni!”cerocos ibu.

Mesakne? Kasihan? Justru karena kasihan, aku lakukan ini semua. Menyekolahkan, mencukupi kebutuhan, dan membelikannya obat, apa itu ndak kasih sayang namanya, heh!” bantahku dengan jengkel. Maklum, aku memang agak berkuasa di rumah, karena akulah tiang penyangga kehidupan keluarga.

Dengan uang haram?” sela ibu.

Bu, wis lah aku capek, kesel! Tahu apa ibu tentang halal dan haram. Gombal dengan itu semua. Yang penting kita bisa hidup!” Bantahku lagi.

Tapi, sampai kapan kamu menjadi lon...”

Bu!” selaku dengan bentakan dari kamar. “Wis lah! Ndak usah sok tahu dan ikut campur urusanku!” marahku sudah ndak tertahan lagi.

Asal Ibu ngerti! Aku gini ini juga karena ibu dan almarhum bapak yang menjodahkanku dengan Parji gendheng. Lihat sekarang, apa yang diperbuat laki-laki ndak bertanggung jawab itu! Bajingan itu telah membuat kita ngere. Apa ibu ndak bosan hidup ngere, ngere, dan ngere. Wislah Bu, aku capek!” jawabku kesal hendak menutup kamar. Perkataanku itu merupakan balas dendam atas perlakuan orang tuaku dulu.

Marni...!”

Brak! Aku banting pintu kamarku dengan keras untuk menyudahi perdebatan rutin penyambutan kepulanganku.


****

O… apa yang terjadi terjadilah, yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya. O… apa yang terjadi terjadilah yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa.

Lama-lama aku menghayati juga lagu MP3 di hp-ku itu yang sejak tadi terus mengiringi persiapanku berdadan di sore hari. Tiba-tiba aku berpikir sejenak. Semakin lama semakin perlahan aku memoleskan spon bedak ke pipi. kemudian ganti lipstik merah marun favoritku juga perlahan menutup bibir yang agak berkerut. Memori kelam yang melatar belakangiku pun berkumpul, menyatu dalam pikiran. Hingga aku berhenti berias, terus memandang cermin seolah tak berkedip. Mencoba memulai kisah hampir sepuluh tahun lalu.

Cerai! Kata terakhir yang diucapkan Parji di telepon. Ya, itulah kata terakhir yang aku dengar saat aku berusaha menghubungi dan mencari selama beberapa bulan karena pergi tanpa kabar. Wanita apa aku ini yang sudi dipermainkan laki-laki bajingan itu. Dialah tersangka pertama yang membuat aku seperti ini. Memang waktu itu perilakunya berubah setelah kelahiran Rina. Dia mulai acuh denganku. Apalagi saat dia mengetahui bahwa Rina mempunyai kelainan pada sel dalam tubuh. Hingga dokter memvonis kanker, sama sekali dia ndak pulang. Diangggap apa aku ini? Apa dia pikir aku ini robot yang bisa hidup tanpa makan? Kemudian, bagaimana dengan nasib Rina? Apa aku akan membiarkan anakku semakin parah penyakitnya, hingga menjadikannya mayat? Aku pikir Parji adalah banci yang tak pernah bisa menghadapi semua ini. Atau jangan-jangan, Parji sudah mempunyai serepan lain. Semua itu hanya kebetulan dan alas an agar dia bisa berpaling. Yang jelas dia sudah mendapatkan harta dari keluargaku. Tak ada lagi sisa peningggalan keluarga di desa.

Untung aku bertemu dengan Sumilah atau biasa dipanggil Mila sekarang. Dia juga temanku sewaktu di desa. Namun aku tetap memanggilnya Sum sebagaimana panggilan waktu kecil dulu. Dialah yang berjasa mengajariku untuk bisa bertahan di kota besar. Aku sempat bimbang menerima tawarannya. Tapi rayuan dan prinsip hidup yang dia tanamkan kepadaku bagai kupu yang tergoda mahkota bunga.

Ni, ini bukan sekedar pekerjaan tapi merupakan pelampiasan atas kehidupanmu dulu yang lebih kelam dari saat ini.” Itulah yang dikatakannya waktu itu dan membuat yakin akan langkahku. Akupun menjalaninya dengan senyuman tanpa beban. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana aku harus menyelamatkan anakku dari ambang maut.

Tiba-tiba lagu tersebut berhenti karena ada panggilan masuk. Aku baru tersadar dari lamunan. Aku lihat dilayar ternyata sebah nama pelangganku menelepon.

Halo? Dik Marni?”

I...iya, Mas.” dengan gugup aku menjawabnya karena masih terkontaminasi oleh lamunanku. “Ada apa mas? Bukannya masih nanti kita check inn? Tanyaku dengan heran

Gini say... gimana kalau dipercepat, Mas soalnya.. e... soalnya...?”

Soalnya kenapa Mas?” selaku penuh harap.

E... soalnya bsok pagi mas ada janji dengan anak-anak, agar tidak terlalu pagi pulangnya, kita cuma ngobrol di restoran spesial. Gimana sudah siap kan sekarang?” Jawab pelangganku dengan gugup.

O...bisa kok. Tenang aja aku sudah siap. Aku tunggu di pangkalan biasa ya mas, da...! aku akhiri telepon. Sebenarya aku tahu alasanya kenapa dipercepat. Paling istrinya sudah curiga. Laki-laki, laki-laki semua sama saja. Aku pun segera bergegas merapikan meja rias dan menyahut tas segera berangkat menuju pangkalan.

Malam demi malam aku lalui. Entah berapa lelaki yang sudah berada dalam pelukanku dan menikmatiku. Tak ada sedikitpun rasa kebosanan. Karena prinsip dari Sum, telah terpatri dalam otak ini. Ya, beginilah hidup, semua pasti akan ada jalannya. Akupun menjadi kupu-kupu yang semakin liar.


****

Di restoran hotel aku menikmati hidangan malam bersama pelanggan baru. Sebenarnya ingin langsung check inn, namun entah kenapa aku tiba-tiba jadi gak enak badan. Pikiran pun juga agak kacau. Tiba-tiba hp di dalam tas berdering. Aku lihat di layar sebuah nomor yang ndak aku kanal. Biasanya aku langsung mematikannya takut mengganggu dinnerku. Namun jempolku secara reflek memencet tombol hijau, dan mengangkatnya.

Halo Ni?” suara yang sangat aku kenal itu dengan gugup ingin menyampaikan sesuatu.

I...ibu?” aku bertanya ndak yakin, kenapa ibu tiba-tiba meneleponku dan tahu dari mana nomorku ini.

I...ini ibu?” tanyaku lagi seakan tak percaya. “Ibu tahu dari mana nomerku? Ada apa?” aku terus bertanya dengan heran hingga menutupi nada marah yang biasa aku tunjukkan.

Tadi tanya Sum! Rina Ni...Rina Ni...?” Suara ibu terdengar gemetar seperti ingin mengungkapkan sesuatu.

Rina? Kenapa Rina Bu?” tanyaku sambil meninggalkan meja makan.

Rina Ni, Rina koma. Sekarang di Karang Menjangan. Cepet Ni! Suara ibu semakin gemetar. Tut..tut..tut. suara ibu terputus, sebelum aku memberikan kesanggupan untuk kesana. Aku segera bergegas memberitahu pelangganku, tentang ini. Untung dia paham. Aku menolak untuk diantar dan memilih naik taxi.

“Ibu...!” aku memanggil dengan lantang sambil manahan air mata. Aku dekati ibu dan mencurahkan semua kesedihan di pangkuannya. Entah, kapan terakhir kali aku menghargai ibu dan menangis meratapi kesedihan. Aku benar-benar lunglai tak berdaya berada di pangkuannya. Semua segala kesedihan tercurahkan bersama. Ribuan kata maaf terucap dari bibir yang selalu berbicara kasar.

Dari balik kaca pintu ruang ICU, aku memandang Rina dengan berurai air mata. Ingin sekali aku memeluknya dan mengatakan penyesalan dosaku di pelukannya, sebelum... . Tak tega aku melihatnya. Di kursi tunggu depan ruangan aku hanya duduk bersandar, menatap langit-langit agar air mata tidak terus keluar.

Tuhan penyayang umatnya.” dalam hati aku menyebut lirik lagu itu. Baru pertama kali ini aku berpikir tentang Tuhan. Ternyata dalam hatiku masih ada ruang untuk Nya. Meski aku merasa tak pantas menjadi umatNya. Diriku sudah terlalu kotor. Aku hanya punya secuil asa di tengah waktu yang semakin berakhir. Aku yakin, Dia sudah menentukan jalan untukku. Jalan bagi kupu-kupu malam, yang sudah terlalu malang. Semua pasti akan usai sabagaimana lagu itu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar